BERLATIH BERSAMA MENGASAH NALAR RUKHANI DI LERENG GUNUNG DI BULAN RAMADHAN

Oleh ; Fahrizal Ischaq Addimasqi
Pesantren Wisata Amlam, Wonosalam, Jombang.

Sengaja saya pilih kalimat “berlatih”, karena bisa jadi kita semua sudah mengetahui ilmu tentang apa yang akan kita lakukan, ayat apa yang kita hafal dan tentu setiap dari kita mempunyai majelis ilmu dan guru tempat dimana kita banyak mengetahui tentang Islam yang sedang berusaha kita yakini saat ini.

Surat Qulhu (baca; al-Ikhlas), anak Sekolah Dasar pun bisa jadi hafal, hampir tidak ada muslim yang mengenyam pendidikan Islam dengan cukup baik tidak menghafal surat pendek populer ini, tapi ketika kita sama-sama dewasa, dalam kondisi tertentu kita begitu sulit mengamalkan Qulhu ini, misalnya buah hati kita sedang demam tinggi, naluri kita atau orang di sekitar kita untuk pergi ke Masjid dan berlama-lama sujud dan minta pertolongan Allah, naluri dasar kita akan memaksa kita atau istri kita, demam tinggi adalah segera ke dokter sesegera mungkin, bukan kita tidak yakin bahwa Allahu as-Shomad (Allah adalah tempat terbaik untuk bersandar), tapi kita sudah terbiasa dalam mindset kita bahwa sakit solusinya adalah obat dari dokter, bukan sujud di Masjid, bukankah begitu ?

Cerita nabiyullah Ibrahim khatam kita dengarkan, anaknya yang menjerit kehausan, selesai dengan sujud ayahnya di depan ka’bah, tapi itu mungkin kita anggap hanya bisa dilakukan oleh nabi, bukan kita dan anak kita, maka sungguh naluri penghambaan kita harus kita latih, sampai kapan? Sampai bisa dan sampai datang keyakinan itu hingga sempurna, fa’budullah hatta ya’tiyakal yakin, beberapa ahli tafsir mengartikan yakin yang sempurna adalah kematian, artinya kita diharuskan untuk terus berlatih dalam mengasah nalar rukhani kita, tidak cukup di hafal, tidak cukup di faham saja, tapi harus masuk dalam relung ruhani yang terwejantahkan dalam keputusan kita meski dalam keadaan sulit.

Tadi pagi ketika jamaah Subuh, putra sulung saya Ahmad Zanky Addimasqie mengeluh gusinya bengkak dan terasa sakit, sembari mengikuti para santri berdzikir, dia menyandarkan kepalanya di sofa tempat kami berjamaah, sambil terlihat bengkak di bibir sebelah kanannya, saya tau dia menahan rasa sakit dan bertahan mengikuti majelis, di penghujung dzikir kami membaca Al-Fatihah untuk kesembuhan putra kami, subhanallah, setelah ngaji Subuh Mas Zanky saya minta istirahat tidur, setelah 2 jam terbangun, dia langsung senyum tebar pesona dan bermain, saya tanya tentang sakitnya, sudah sembuh dan tidak sakit lagi bi, begitu jawabnya sumringah.

Ini bukan karena dokter cukup jauh jarak nya dari tempat tinggal kami di lereng gunung, tapi ini soal keyakinan, bukankah Al-Qur’an adalah obat? Berdo’a dan munajat adalah nomor satu dari semua ikhtiar yang ada, ini bukan hanya terjadi dengan putra kami saja, juga istri kami termasuk saya jika sakit, ini berlaku sesungguhnya untuk semua orang, semua muslim tanpa terkecuali, bagi Allah tidak ada yang sulit, bukankah sakit itu yang menurunkan adalah Allah, dan Allah lah yang Maha Menyembuhkan ? Tapi kita semua sadar persoalannya tidak sesederhana itu bukan?

Banyak orang meminta saya membuat program pondok Ramadhan, setelah saya istikharah, progam I’tikaf inilah yang saya pilih untuk kami gelar di pesantren kami, selain konsep kegiatan yang simpel karena mereka datang dengan keluarga, tidak seperti anak-anak yang camping biasanya sehingga panitia menjadi super menyiapkannya, program asah dan latih nalar rukhani inilah yang paling dibutuhkan setiap keluarga muslim saat ini, tadarus di alam terbuka, diskusi keagamaan dan sharing bersama, saling bertukar fikiran, ngabuburit bersama keluarga di area pegunungan dan yang jelas menciptakan gol bersama antar anggota keluarga menjadi penting sebagai oleh-oleh agenda berkah ini, biidznillah.

I’tikaf kok di kemah, kan seharusnya di masjid ? Mungkin yang benar adalah i’tikaf di Pesantren, di Pesantren tidak hanya ada masjid, tapi juga ada guru yang membimbing, hampir setiap jengkal tanah pesantren dibuat santri untuk bersujud, dan latar belakang pesantren didirikan tidak hanya ingin menjadikan orang itu mendirikan shalat, tapi juga menjadikan salat menjadi instrumen inti dalam kehidupannya, hanya saja syi’arnya dibuat I’tikaf Camp, agar ummat lebih tertarik dan mudah dicerna, tentu yang tidak setuju, sangat boleh untuk tidak join agenda ini. Lakum Dinukum Wa Liya Din.

Kenapa peserta nya harus satu keluarga, karena agenda ini diinginkan juga menjadi titik temu semua awak kapal bernamakan keluarga, yang bisa jadi di luar Ramadhan tidak banyak berjumpa dan menemukan titik temu, diharapkan momentum ini bisa saling bertukar pikiran dan berdiskusi dari hati ke hati, dengan ijin Allah.

Intinya kita perlu berlatih, tidak berhenti pada teori, keluarga dan kartu keluarga (KK) Juga hanya berlaku di dunia, sejatinya setiap kita punya dan menentukan tujuan hidup kita dan tujuan mati kita sendiri-sendiri, bukankah di alam kubur itu KK sudah tidak berlaku ? Semua akan bertanggung jawab sendiri-sendiri ? Keluarga sejatinya adalah tim sukses agar kita bisa mencapai kesempurnaan yang kita harapkan bersama, kesadaran itulah yang kita butuhkan, dan berlatih adalah kuncinya. Lantas, bagaimana nasib ponsel pintar kita jika lama tidak kita cas, pasti tidak akan ada gunanya, tidak bisa buat telpon, mengirim pesan bahkan browsing, lantas bagaimana dengan hati kita ?, Sepertinya Kita Butuh Berdiskusi Bersama. Bismillah.

Sampai Jumpa di AMLAM pekan depan !!

Tinggalkan Komentar

Your email address will not be published.