Oleh Fahrizal Ischaq Addimasqie
Pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan selalu saya sempatkan untuk tidak tidur di malam hari (baca; terjaga), sebenarnya tidak juga khusu’ ibadah tapi lebih suka berjalan-jalan menikmati malam di babak final bulan mulia ini, saya selalu terkagum dengan nuansa yang inspiring pada malam-malam ini dan selalu mendapatkan butiran inspirasi di malam ini, semakin direnungi semakin menakjubkan. Mungkin ini bisa menjadi tips bagi Anda yang selalu mengantuk ketika i’tikaf di masjid atau sakit punggung ketika duduk terlalu lama.
Tiba-tiba kalimat lama yang pernah saya dengar dari kearifan Kerajaan Belanda bahwa Leiden is Lijden (Memimpin itu Menderita) satu pekan ini begitu nyaring di telinga saya, entah kenapa. Begitu luar biasanya, hingga semalam saya memutuskan untuk keliling masjid pesantren di sekitar Pegunungan Anjasmoro (kec. Wonosalam), Alhamdulilah saya dijamu oleh Kiai di pesantren tersebut meski tengah malam, mengagumkan menurut saya, karena kalimat pertama yang keluar dari mulut beliau adalah; “Semua santri saya suruh pulang, biar saya saja yang jaga pondok !” Begitu sapanya sambil menyuguhkan jahe hangat kepada saya.
Bagi orang lain atau bahkan yang mengucapkan nya, kalimat itu mungkin biasa, tapi tidak dengan saya, Ketika kalimat itu keluar, ingatan saya lantas memutar memori Dawuh Bapak mertua saya juga Pimpinan Pesantren di Sidoarjo “Santri sudah pulang semua, semua guru pondok tidak usah piket, biar Saya saja yang piket bersihkan pondok” begitu tegasnya, memberikan Contoh kepada adik-adik saya yang sedang belajar mengurus pesantren, mungkin ini sama bobotnya dengan Pak Jarwo Kepala Tukang Pondok Amlam yang “menaikkan” anaknya dengan Yamaha Vixion terbaru, sedangkan beliau hanya “menaiki” motor trail butut khas pegunungan yang sesekali meminjam motor anaknya jika dibutuhkan dalam keadaan mendesak.
Guru itu memimpin, ayah itu juga memimpin dan semua laki-laki itu pasti memimpin pada saatnya. Jika takdir kita semua adalah memimpin maka kita semua (laki-laki) harus siap menderita, menderita itu bukan berarti kere (miskin), tapi dalam bahasa tasawuf adalah tirakat, artinya meninggalkan kesenangan agar orang lain bahkan semua orang merasakan kebahagiaan, there is no lunch free (tidak ada makan siang gratis), semua harus ditirakati, jika Anda hari ini merasakan begitu mudah, hidup serba cukup, selalu mudah mencari solusi kebahagiaan, ingat, bahwa itu bisa jadi hasil “menderita”-nya para pendahulu kita, semua tidak datang begitu saja, bak hujan di siang bolong.
Lebih penting lagi, setiap guru itu pasti pemimpin, tapi tidak semua pemimpin itu ditakdirkan menjadi pendidik/guru, karena sejatinya guru adalah pemimpin dengan keteladanan dari semua aspek kehidupan ini, seorang jenderal tidak mungkin ada tanda bintang di pundaknya, tanpa alif ba’ ta’ yang diajarkan gurunya di masa kecil, maka layaklah sudah jika diisyaratkan bahwa guru adalah orang tua terbaik setelah orang tua dan mertua bagi seorang muslim, karena guru pasti orang tua, dan tidak semua orang tua itu guru. Setujukah Anda ?
Maka pemimpin yang tidak menderita alias tirakat adalah pemimpin palsu, dia tidak sedang memimpin tapi hanya sedang menikmati akal politiknya untuk bahagia di atas penderitaan yang dipimpinnya. Maka seorang guru terkadang menempuh untuk tidak tidur malam selama bertahun-tahun demi muridnya, ada juga yang puasa Dawud dengan tempo yang tidak sebentar, bahkan ada yang puasa untuk tidak bicara dan seterusnya demi semua orang yang diperjuangkan akan kebahagiaan nya, saya juga berguru kepada seorang Kiai yang “penderitaan nya” tidak memakai baju selain putih, memasakkan seisi rumahnya di malam hari, mencuci pakaian istrinya setiap hari dan atap dan dinding kayu dijadikannya hunian sepanjang tahun dan satu lagi beliau tidak makan kecuali yang beliau tanam sendiri dari tangannya untuk menjauhi subhat. Allahuakbar, merinding membayangkan nya. Sanggupkah kita?
Maka Pemimpin itu harus Menderita, artinya harus tirakat, jika ia sedang berbuka bersama di bulan Ramadhan, maka ialah yang melayani para shoimin (ngimbuhi) dan dia harus paling terakhir yang berbuka puasa, dia harus berani berpuasa untuk anak cucunya yang lebih mulia, saya tutup dengan kalimat guru saya ” Gak Popo Le, Mlebu Neroko, Nek Perlu, Teleen sikilmu Nang Ndukure Sirahku, Tak Songgohe Le!” (Tidak apa-apa Nak, masuk neraka, kalau perlu kamu taruh kakimu di atas kepalaku, biar aku yang tanggungjawab di hadapan Allah), Jajalan Piye Jal? Siapkah Kita Menderita ? Ushikum wa Nafsi, Wallahu a’lam Bishowab.
27 Ramadhan 2021 M
Pesantren Wisata Amlam
Wonosalam – Jombang – Indonesia
– 0.8.1.3.3.3.0.8.9.6.6.6.-